Selasa, 25 September 2018

Transaksi

Ada beberapa orang yang mungkin sungkan untuk 'meminta'. Sama siapapun. 

Buat orang yang terbiasa mandiri, meminta menjadi suatu transaksi yang menggantungkan nasib diri pada orang. Dan  itu lebih banyak ketidakpastiannya ketimbang melakukannya sendiri. 

Sounds arogant? Maybe yes, maybe no.

Seolah ga butuh orang lain. Bedakan ya, antara arogan sama ga mau repotin orang lain.



Satu sisi kita emang gabisa hidup sendiri, satu sisi lagi mungkin beberapa orang punya trust issue sehingga ga mudah baginya untuk mendelegasikan.

Ahh, ini topik terlalu luas. Maksudnya ga kesana juga.

Tapi intinya, dari kebiasaan standing on our own feet menjadi hal yang plus minus.



Nah jika dalam transaksi antar manusia, yaudah lah ya, tiap orang pasti punya alasan dan latar belakang psikologisnya. But I'm not gonna talking about it. Gimana kalau kebiasaan ini menjadi kebiasaan saat berhubungan dengan Pencipta. Nah, mulai repot.



Awalnya mungkin merasa ga enakan, ngapain minta banyak-banyak sama Allah tapi ibadah masih pas-pas an. Sholat masih susah khusyu. Puasa masih ga nahan gibahin orang. Jadi doa nya yaudah standar juga, minimal doa sapu jagad, doa orang tua, dan doa-doa lainnya. Kalo inget itupun. 


Tapi tunggu, ko ini jadi seperti transaksi ya. Ko ini jadi itung-itungan ama Allah. Menuntut hubungan yang linier, antara ibadah dan kesejahteraan hidup. Semakin meningkat ibadah, ekspektasinya semakin meningkat juga kesejahteraan nya. Dalam hal ini, kesejahteraan adalah hal yang diingini, bukan dibutuhi.



Lalu teringat sebuah penggalan puisi Alm WS Rendra,


Maka sejatinya berdoa bukan perkara meminta. Tetapi mengaku, bahwa kita--makhluk yang dicipta-- terlalu lemah dihadapan Pencipta.




Duhai, diri yang masih harus terus diingatkan.


Selasa, 11 September 2018

Nilai Isi dan Cangkang

Saya dulu adalah tim isi, tim yang selalu memandang sebelah mata tim cangkang karna suka ngepoles luar nya doang tapi dalemnya engga. Tim yang menurut saya, ga usah moles-molesin luar lah, tar kecewa giliran dapet isi nya ga sesuai ekspektasi kita. Mendingan luar nya B (biasa) aja atau bahkan biarin dianggap jelek, tapi pas liat dalemnya wow, diluar ekspektasi karna saking berkualitas nya.

Eh bentar, ini ngomong apa sih. Cangkang ama isi, maksudnya buah apa? Produk apa?

Misal, manusia.

Oke, lanjut.

Dulu, bahkan ampe kuliah saya selalu berprinsip, ngapain dandan cantik-cantik, perawatan muka, ngurusin badan, kalau ternyata isi kepala lo kosong, diajak ngobrol agama banyak ga ngerti, ga nyambung kalo diajak ngobrol, and so on. Pada akhirnya saya selalu cuek dengan penampilan. Literary cuek, mu dibilang gendutan kek, jerawatan, dan sebagainya, (walaupun teteuup sebagai perempuan mah kadang baper juga) tapi semua komen itu ga lantas menggerakkan perilaku saya untuk lebih merawat diri.

Pun saat ada orang yang kerudung nya panjangan dikit, udah agak syar’i penampilannya dengan mulai pake rok dan kerudung dipanjangkan menutup dada, saya selalu beranggapan, ahh masih banyak yang pake kerudung panjang tapi akhlaknya ga sejalan, masih cengengesan, masih manjah manjah grup, daan masih gagap kalo diajak diskusi agama. Buat apa. Mending jilbab biasa aja tapi kalo diajak diskusi agama ngerti, ngaji bisa, dan akhlaknya lebih baik. Saya gamau menambah barisan-barisan luar sana yang kecewa karna hijab panjang. Jadi, yaudah berhijab biasa aja.

Atau saat ada orang yang berpendidikan tinggi. Buat apa? Terus kalo berpendidikan tinggi, gelar nya mau kemana? Ga sedikit ko yang sekolah udah tinggi, tapi manner masih jongkok. Belum nambah deretan orang korupsi setelah menjadi pejabat-pejabat terhormat disana padahal mereka dari kalangan 'terpelajar'. Punya ilmu, setinggi apapun gelarnya, dan sejauh apapun sekolah nya, ga lantas merubah manner seseorang. Meanwhile dalam bermasyarakat, manner (aka akhlak) adalah hal yang utama. Hal ini serupa dengan ngapain orang rajin sholat, rajin puasa, rajin ke mesjid tapi masih ghibahin orang, omongannya masih nyakitin orang. Mendingan ibadah standar aja, ga usah fanatik-fanatik amat tapi ber akhlak.


Sehingga dengan pola pikir seperti itu, saya jadi mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang satu. Seiring dengan berjalannya waktu, menambah usia, bertemu beragam orang, ternyata kaget sendiri ketika menemukan ADA LOH  CONTOH YANG PERFECT GITU, balance antar cangkang dan isi. Penampilan rapih, berpendidikan, manner baik, dan patuh sama agama.

Lalu terjadi perdebatan,
“udah, yang penting isi..”
“tapi cangkang juga ga kalah penting”
“iya sih”
*** 

Pada gilirannya banyak hal yang membuat saya sadar, terutama setelah belajar agama lebih dalam, bahwa sebenarnya agama saya itu mengajarkan untuk baik dalam segala hal.

Liat contoh-contoh nya para tokoh muslim terdahulu. (Lain waktu kita bahas ini nanti).

Atau para sahabat, dan utamanya Rosulullah SAW. What a great examples for us.
Kalau bisa memperbaiki keduanya, kenapa harus membatasi diri dengan hanya memperbaiki salah satu?

Thats the point.

Terus mulai mikir, masa idup mau gini-gini terus,

Lalu mulailah,
Saya yang awalnya takut-takut mau panjangin jilbab, perlahan-lahan mulai coba.
Saya yang awalnya takut-takut mau dibilang sok cantik karna perawatan, mulai lah merawat diri (minimal ga kucel, penampilan sesekali rapih, dan ga cuek-cuek amat walaupun skg masih minimalis jg sih haha),
Saya yang awalnya takut-takut untuk memperbaiki cangkang, perlahan mulai memoles tanpa berusaha melupakan esensi dari isi cangkang itu sendiri. Coba-coba lagi nambah ilmu, perbaikin akhlak.
Walaupun asli, ternyata dari kesemua itu yang paling susah yaaa memperbaiki akhlak yang merupakan hasil refleksi dari tauhid. Susah. Godaannya adaaaaa aja.

Pada akhirnya, judging saya terhadap (misal) wanita-wanita jilbab lebar perlahan berubah; misal manner nya belum sesuai, bisa jadi baru aja kemarin mereka memperbaiki diri dengan melebarkan jilbabnya, bisa jadi baru aja kemarin hidayah mengetuk hatinya (misal mualaf atau baru banget hijrah) sehingga ga bisa total berubah 100% begitu saja, atau bisa jadi mereka pun sedang dalam proses hijrah yang menurut mereka hal itu sangatlah berat dari kacamata mereka sementara kita ga tau. Bisa jadi. Dan banyak bisa jadi-bisa jadi yang lainnya.

Hal ini kalau dihayati, ya jadi ajaran agama juga. Untuk tidak berprasangka. Untuk selalu mengajarkan; milikilah seribu alasan berprasangka baik terhadap saudara mu. Untuk tidak mencela dosa saudaranya. Singkatnya, untuk ga judging, untuk ga nyinyir, dan untuk ga demanding terhadap orang lain. Tapi disuruh ngaca dulu ama diri sendiri. Disuruh sibuk ama apa yang udah dilakuin ama diri. Karna mau temen deket, atau keluarga sekalipun gakan bisa menggantikan hisab kita nanti di yaumil akhir.

Pun untuk tidak menyinyiri mereka yang belum berhijab, atau  yang ngajinya masih terbata, atau yang pemahaman agamanya masih sedikit. Ga lantas jadi halal buat nyinyir sih. Ya itu tadi, Islam sendiri sangat menekankan untuk tetap berprasangka baik. Boleh jadi, nanti besok dia dapat hidayah dan lebih baik dari kamu. Boleh jadi, besok mereka diberikan kemudahan dalam menghapal ayat-ayat Quran nya, sementara kita dimentokkan bahkan dilupakan amat ayat yang udah dihapal :( 
Boleh jadi, besok dia meninggal dalam keadaan husnul khotimah karna hatinya bersih sementara kamu meninggal dalam keadaan memiliki prasangka dan titik-titik hitam di hati tanpa sadar menggerogoti. 
Bukankah dalam hadist dibilang suatu amal itu dilihat dari akhirnya? (baca sini)
Selalu ada waktu untuk berubah. Mereka yang bisa berubah lebih baik, atau kamu yang bisa berubah lebih buruk (Naudzubillahi min dzalik).  


Makanya semakin kesini semakin paham, pilihan untuk memperbaiki isi maupun cangkang sama-sama rasional nya. Yang ga rasional adalah saat berenti memperbaiki diri. Terutama memperbaiki hati yang gampang banget dibolak-balik di dunia yang terlalu dinamis ini.

Wallahualam.

Semoga kita bisa selalu lebih baik dari hari kemarin sekecil apapun perubahannya dan bisa istiqomah berada di jalan kebaikan Nya, serta selalu berada dalam bimbingan dan lindunganNya. Aamiin.


*Memasuki malam 2 Muharram 1440 H.
**Ga perlu nanya resolusi lah yaa :p





 
Video singkat tentang "Mengapa harus hijrah" oleh Ust Oemar Mita. 
Fyi, gabisa ngelink video di IG, but this one was too good, jadi video screenshot aja yes.