Penentuan untuk penemuan jati diri yang sesungguhnya
menurut saya begin at twenty. Meskipun banyak yang bilang life begin at forty. Terserah lah, yang pasti sebentar lagi saya menjadi bagian dari yang
orang-orang sebut sebagai seperempet abad. Ngeri? Jangan tanya. Tapi mau
gimana? Toh waktu terus aja konstan kecepatannya, ga berkurang ga bertambah.
When people call it as ‘menghadapi dunia nyata’, and
that was totally true. Banyak nilai-nilai yang saya jadi baru pahami, pelajari
dan sadari. Bahwa menjadi dewasa, adalah menjadi pura-pura. Pura-pura yang
baik. Memainkan peran. As good as possible.
Katakanlah jika rata-rata hidup wanita Asia adalah 60 tahunan, artinya saya sudah
menghabiskan waktu saya almost ½ hidup usia saya. Itu kalau ngikutin standar
panjang hidup wanita Asia. Tapi kalau saya ternyata ditakdirkan punya kisah
yang lain sehingga ga mengikuti panjangnya usia rata-rata wanita Asia? Sakit misalnya? Atau kenapa lah, kalau
ternyata jatah saya sampe 50, artinya saya
benar-benar sudah sampai pada angka ½, tapi kalau saya punya sampai 30?
Saya sudah menghabiskan 5/6 nya, sisa 1/6. Itu kalau 30, masih ada sisa 5 tahun
lagi. Lah kalau ternyata bahkan takdir bilang saya ga sampe usia seperempat
abad nya? alias besok mungkin? Artinya sudah 99,99% yang sudah saya habiskan.
Ngeri. Asli.
Kadang kita suka mengacuhkan fakta bahwa namanya mati, selain
bersifat kemutlakan, juga bersifat kejutan. Gak ada yang tahu. Kapan dan
dimana.
Sementara sebaik-baiknya makhluk adalah dia yang mempersiapkan
kematiannya.
Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh seorang lelaki dari
kalangan Anshar, “wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?”
Rasulullah menjawab, “Yang paling baik akhlaqnya”.
Kemudian ia bertanya lagi, “Siapakah orang mukmin yang
paling cerdas?”. Beliau menjawab, “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian
yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang
paling cerdas”. (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy)


