Selasa, 10 November 2015

Menjadi 1/2, 5/6, atau 99%



Penentuan untuk penemuan jati diri yang sesungguhnya menurut saya begin at twenty. Meskipun banyak yang bilang life begin at forty. Terserah lah,  yang pasti sebentar lagi saya menjadi bagian dari yang orang-orang sebut sebagai seperempet abad. Ngeri? Jangan tanya. Tapi mau gimana? Toh waktu terus aja konstan kecepatannya, ga berkurang ga bertambah.
When people call it as ‘menghadapi dunia nyata’, and that was totally true. Banyak nilai-nilai yang saya jadi baru pahami, pelajari dan sadari. Bahwa menjadi dewasa, adalah menjadi pura-pura. Pura-pura yang baik. Memainkan peran. As good as possible.

Katakanlah jika rata-rata hidup wanita Asia  adalah 60 tahunan, artinya saya sudah menghabiskan waktu saya almost ½ hidup usia saya. Itu kalau ngikutin standar panjang hidup wanita Asia. Tapi kalau saya ternyata ditakdirkan punya kisah yang lain sehingga ga mengikuti panjangnya usia rata-rata wanita Asia?  Sakit misalnya? Atau kenapa lah, kalau ternyata jatah saya sampe 50, artinya saya  benar-benar sudah sampai pada angka ½, tapi kalau saya punya sampai 30? Saya sudah menghabiskan 5/6 nya, sisa 1/6. Itu kalau 30, masih ada sisa 5 tahun lagi. Lah kalau ternyata bahkan takdir bilang saya ga sampe usia seperempat abad nya? alias besok mungkin? Artinya sudah 99,99% yang sudah saya habiskan. Ngeri. Asli.

Kadang kita suka mengacuhkan fakta bahwa namanya mati, selain bersifat kemutlakan, juga bersifat kejutan. Gak ada yang tahu. Kapan dan dimana.

Sementara sebaik-baiknya makhluk adalah dia yang mempersiapkan kematiannya.
Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh seorang lelaki dari kalangan Anshar, “wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Yang paling baik akhlaqnya”.

Kemudian ia bertanya lagi, “Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?”. Beliau menjawab, “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas”. (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy)



Perencana Hebat



I am a great planner, instead of saying a great procastinator. :P 
Sejujurnya, mungkin karna saya (hampir menuju) perfeksionis, tapi ujung dari segala nya adalah, saya menunda segala sesuatunya untuk menjadi perfek. While we know, it’s impossible. Ga ada keadaan yang sempurna. 

Contohnya dalam hal tulis-menulis.  

Saya nunggu mood nulis saya terisi penuh, saya nunggu keadaan saya sedang berada depan laptop sementara ide suka tiba-tiba muncul di kepala, saya nunggu pikiran saya tenang, saya nunggu ketika ga ada kerjaan dari kantor. Saya nunggu. 
Selalu aja ada alasan. 

Padahal tema buat nulis banyak. Dan kayaknya bilangan draft tulisan lebih banyak ketimbang postingannya.

Jadi ketika buka draft-draft tulisan lama, saya mikir, loh ini padahal cukup menarik kenapa ga dilanjutin? Ehh ini saya yang nulis? Ko kepikiran ya? Dan seterusnya. Ke-ga nyangkaan bahwa saya bisa menulis beberapa pandangan (yang ketika dibaca lagi), is it me who write this?
Padahal postingan blog ga harus panjang, ga harus toooo meaningful, ga harus sesempurna itu. 

Sama dengan hal yang lain. Saya berencana rutin lari pagi tiap minggu, rutin nulis setengah jam dalam sehari, rutin makan buah, rutin belajar bahasa, rutin ikutan acara kegiatan sosial dan klub bahasa, rutin baca buku, rutin ngebolang. Hasilnya? Saya rutin berwacana.
Kesemuanya bukan menjadi rutinitas tapi niat-nitas. Halah. Sempet dilakukan, tapi mesti ada jeda. sekali dua kali, istirahat. Eh kebablasan jadi keterusan istirahat.  

Padahal tahun 2015 tinggal ngitung hari, 50 hari lagi, sisa dari November dan Desember.
Masih aja berwacana? Ciye, siap-siap bikin resolusi baru lagi?

Udah ah, instropeksi aja dulu.