Selasa, 17 Desember 2013

Hidup dalam Spasi

Life is not only about a bed of roses. Yang kesemuanya tampak menyenangkan sekali, lalu kehidupan semacam mulus-mulus saja tanpa ada hambatan berarti, tanpa ada kesulitan yang dihadapi, tanpa ada tantangan sama sekali. 

Perjalanan kedua saya ke Pare kemarin membuat saya sadar. Hal ini tentunya dirasakan bagi yang pernah ke Pare, bahwa Pare, entah bagaimana caranya, mempunyai daya tarik tersendiri untuk kembali kesana, menuntut ilmu, bertemu teman baru, atau sekedar menghilangkan rasa jemu. 

Lihat, bagi yang sudah kesana, kata-kata semacam 'kangen' atau 'rindu' itu obral sekali untuk dikatakan kepada Pare.

Bagi saya, Pare itu semacam aktivitas menghela nafas dalam kehidupan, atau seperti spasi dalam kalimat.

Bagi kalian, terutama yang hidupnya di kota-kota besar, kota yang sibuk sekali, dengan obral suara klakson kendaraan dimana-mana, ricuhnya macet, jalannya orang-orang yang mengejar waktu hingga lupa diri, lupa untuk sekedar menyapa, lupa untuk sekedar menoleh ke sekitar. Maka Pare, semacam hidup dalam jeda. Mayoritas menggunakan sepeda, maka suara bising apa yang perlu dipersoalkan? Mayoritas belajar, suasana lingkungan kondusif bagi yang haus ilmu. Mayoritas sambil berlibur, menikmati kulinernya, nikmati budayanya, nikmati pemandangannya, nikmati suasananya. Dan membangun ikatan, teman baru, sahabat baru, tawa baru, canda baru, tangis baru, bahkan tak dipungkiri; cinta baru. Selalu ada kisah. Apapun itu. 

Tampak menyenangkan bukan? Ah ya, begitulah :')

Dan seperti itulah, saya memandangnya, sebelum kunjungan kemarin. Sebelum keinginan menggebu saya untuk kembali tinggal lama disana. Melihatnya dari kacamata kuda, bahwa bagaimana pun, Pare akan menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Kenyataannya? Ya memang seperti itu, jika. --diiringi dengan kata jika, maka ada syarat dan ketentuan berlaku-- Jika kita pun mengusahakan demikian. 

Jadi, Pare bukanlah 'supir'nya yang mengantarkan, tapi 'kendaraan'nya. Supirnya adalah kita. Sutradaranya tetap kita, pemainnya juga. 

Perkara akan kesenangan yang didapat, kedamaian yang diperoleh, apakah akan mengurangi resiko yang ditawarkan hidup? Tentu saja tidak. 

Pare atau tempat manapun itu memiliki kemanisan dan kepahitannya tersendiri. Dalam kadarnya masing-masing. Bahwa Pare tidak hanya menjanjikan kehidupan manis semata, setiap tempat, dimanapun itu, akan selalu ada sisi pahit yang tak bisa ditawar.


Seperti halnya spasi atau jeda. Pare bagi beberapa orang pun begitu. Tak perlu waktu lama untuk membubuhkan spasi antar kata. Sedikit saja. Kebanyakan malah akan menyebabkan ambigu suatu kalimat. Malah akan membuat ruang kosong. 


Jadi, biarlah Pare menjadi spasi pelengkap kalimat yang baik dan menyenangkan. Menjadi pelengkap keseimbangan. Untuk selamanya menjadi jeda. Sesuai porsinya masing-masing.



*tulisan ini ingin mengingatkan penulis yang pernah memiliki keinginan penuh untuk tinggal terus saja di Pare, membangun kehidupan disana, membayangkan bahwa akan menyenangkan bertemu orang-orang baru setiap periodenya, dan akan belajar banyak dari orang-orang yang akan datang dan pergi itu, dan rasanya tidak ada tempat pembelajaran yang lebih baik lagi selain di Pare, namun kenyataannya? rasa manis dan pahit itu akan selalu beriringan. Jadi, persoalannya bukan dimana, tapi bagaimana. Bagaimana mengolah kedua rasa itu menyeimbangkan kehidupan yang dijalani*