Minggu, 31 Mei 2020

Kanyaah


Tepat setahun lalu,
Meski dalam keramaian, pikirku melayang
Seringan pertanyaan, kamu ikut upacara dimana
Lalu tak lama
Seorang kawan mengabarkan
Namamu disebut, mengirim salam
Aku tersenyum
Kukirim salam balik
Rupanya sudah tak dalam satu lokasi
Kita sudah tak berkomunikasi
Beberapa bulan
Rupanya masih saling mengingat

Kini, setahun kemudian
Beberapa bulan
Terhalang kondisi, tak bisa bertemu
24 jam yang lalu masih berkomunikasi
Namun kau menenang, menyendiri
Tak ingin diganggu
Ucapku yang mungkin melukai
Atau mungkin keputusanku

Merayakan hari yang sama
Saat ini dan tahun lalu
Bedanya, saat ini kau tak mau berkomunikasi
Meskipun aku sangat ingin

Namun bahagiaku sama
Masih berkaitan dengan mu
Tahun lalu mendapat salam dari mu
Sudah bahagia
Tahun ini melihatmu online
Sudah cukup rasanya
Saat kau sedang memberi jarak

Bahagiaku masih sama
Masih berkaitan dengan mu,

Kanyaah

Minggu, 02 Juni 2019

Perpisahan Terakhir

Suka penasaran ga sih, dengan seseorang yang meninggal di waktu yang baik? misal di hari Jumat, atau saat bulan Ramadhan, apalagi paket combo di hari Jumat pas bulan Ramadhan, belum kalau tenyata misal lagi sujud. Masya Allah.

Penasarannya itu, amalan apakah yang dapat membuat almarhum/ah dapat diberikan keistimewaan menghembuskan nafas terakhir di waktu terbaik?

Semacam iri ga? boleh kan ya, iri sama hal-hal yang baik.

Terus abis dari penasaran tersebut, langsung mikir ke diri sendiri. Kira-kira nanti pas saya meninggal gimana ya? :(((((( 

pantes ga sih kalo kita dikasih husnul khotimah? :((( 

Terus yang nyolatin berapa banyak? :(

amalan dzohir pas-pas an, hablumminnas juga kadang suka masih cuek atau kesel gitu (belum lagi ghibah), sedekah masih suka mikir, bacaan quran minim, bakti ke ortu masih dibawah standar, yassalaammm. :((

Suka ngeri sendiri kalo mikirin itu. Pada akhirnya jadi pura-pura bego aja gitu, semacam sikap udah ah. Karna saking ngeri nya kalo mikirin itu. 

Ternyata ya terbaik itu memang mengingat kematian, jadi bikin mikir, am I good enough

Tapi pun kayaknya baik aja ga cukup. 

Karna rupanya, sebanyak dan sebagus apapun ibadah kita, masuk syurga merupakan hak prerogatif Allah dan bentuk rahmat pada hambaNya, apalagi kalo dibanding ama dosa-dosa kita, belum lagi kalau mau itung-itungan ama nikmat yang Allah kasih di dunia, pasti ga kan imbang. Masih minus saldo nya. Jadi tinggal dari kita nya pantes ga nih diridhoi sama Allah. 

Punya ga sih, istilahnya mah amalan terbaik, amalan kojo. Amalan-amalan hati ini yang mungkin ga terlihat tapi sangat bernilai besar di mata Allah SWT.

Kalau kata Ust Adi Hidayat, mungkin dia biasa aja di mata penduduk bumi, bahkan ga terkenal sama sekali, tapi sangat terkenal namanya di penduduk langit.

Jadi amalan dzhohir (amalan yang tampak) tentu penting, amalan hati juga lebih penting lagi. 

Susah? Ya susah lah.
Mau dapetin hadiah dari ale-ale yang tinggal gosok doang aja susah. Lah ini mau afterlife yang enak. Pasti harus ada usaha. 
Nulis gini juga sebenernya malu sendiri, karna masih terlalu jauh dari yang dibilang. 


"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya" (QS 89 : 27-28)

Mudah-mudahan kita termasuk dalam jiwa yang dipanggil di Surat Al-Fajr tersebut ya.. Aamiin allahumma aamiin. 




*Dalam edisi bulan Ramadhan yang banyak menerima berita duka dari para tokoh (Ust Arifin Ilham, ibu Ani Yudhoyono) ataupun dari rekan-rekan di kantor (baik keluarga nya ataupun pegawainya). 

Semoga mereka semua husnul khotimah, aamiin. 

Selasa, 25 September 2018

Transaksi

Ada beberapa orang yang mungkin sungkan untuk 'meminta'. Sama siapapun. 

Buat orang yang terbiasa mandiri, meminta menjadi suatu transaksi yang menggantungkan nasib diri pada orang. Dan  itu lebih banyak ketidakpastiannya ketimbang melakukannya sendiri. 

Sounds arogant? Maybe yes, maybe no.

Seolah ga butuh orang lain. Bedakan ya, antara arogan sama ga mau repotin orang lain.



Satu sisi kita emang gabisa hidup sendiri, satu sisi lagi mungkin beberapa orang punya trust issue sehingga ga mudah baginya untuk mendelegasikan.

Ahh, ini topik terlalu luas. Maksudnya ga kesana juga.

Tapi intinya, dari kebiasaan standing on our own feet menjadi hal yang plus minus.



Nah jika dalam transaksi antar manusia, yaudah lah ya, tiap orang pasti punya alasan dan latar belakang psikologisnya. But I'm not gonna talking about it. Gimana kalau kebiasaan ini menjadi kebiasaan saat berhubungan dengan Pencipta. Nah, mulai repot.



Awalnya mungkin merasa ga enakan, ngapain minta banyak-banyak sama Allah tapi ibadah masih pas-pas an. Sholat masih susah khusyu. Puasa masih ga nahan gibahin orang. Jadi doa nya yaudah standar juga, minimal doa sapu jagad, doa orang tua, dan doa-doa lainnya. Kalo inget itupun. 


Tapi tunggu, ko ini jadi seperti transaksi ya. Ko ini jadi itung-itungan ama Allah. Menuntut hubungan yang linier, antara ibadah dan kesejahteraan hidup. Semakin meningkat ibadah, ekspektasinya semakin meningkat juga kesejahteraan nya. Dalam hal ini, kesejahteraan adalah hal yang diingini, bukan dibutuhi.



Lalu teringat sebuah penggalan puisi Alm WS Rendra,


Maka sejatinya berdoa bukan perkara meminta. Tetapi mengaku, bahwa kita--makhluk yang dicipta-- terlalu lemah dihadapan Pencipta.




Duhai, diri yang masih harus terus diingatkan.


Selasa, 11 September 2018

Nilai Isi dan Cangkang

Saya dulu adalah tim isi, tim yang selalu memandang sebelah mata tim cangkang karna suka ngepoles luar nya doang tapi dalemnya engga. Tim yang menurut saya, ga usah moles-molesin luar lah, tar kecewa giliran dapet isi nya ga sesuai ekspektasi kita. Mendingan luar nya B (biasa) aja atau bahkan biarin dianggap jelek, tapi pas liat dalemnya wow, diluar ekspektasi karna saking berkualitas nya.

Eh bentar, ini ngomong apa sih. Cangkang ama isi, maksudnya buah apa? Produk apa?

Misal, manusia.

Oke, lanjut.

Dulu, bahkan ampe kuliah saya selalu berprinsip, ngapain dandan cantik-cantik, perawatan muka, ngurusin badan, kalau ternyata isi kepala lo kosong, diajak ngobrol agama banyak ga ngerti, ga nyambung kalo diajak ngobrol, and so on. Pada akhirnya saya selalu cuek dengan penampilan. Literary cuek, mu dibilang gendutan kek, jerawatan, dan sebagainya, (walaupun teteuup sebagai perempuan mah kadang baper juga) tapi semua komen itu ga lantas menggerakkan perilaku saya untuk lebih merawat diri.

Pun saat ada orang yang kerudung nya panjangan dikit, udah agak syar’i penampilannya dengan mulai pake rok dan kerudung dipanjangkan menutup dada, saya selalu beranggapan, ahh masih banyak yang pake kerudung panjang tapi akhlaknya ga sejalan, masih cengengesan, masih manjah manjah grup, daan masih gagap kalo diajak diskusi agama. Buat apa. Mending jilbab biasa aja tapi kalo diajak diskusi agama ngerti, ngaji bisa, dan akhlaknya lebih baik. Saya gamau menambah barisan-barisan luar sana yang kecewa karna hijab panjang. Jadi, yaudah berhijab biasa aja.

Atau saat ada orang yang berpendidikan tinggi. Buat apa? Terus kalo berpendidikan tinggi, gelar nya mau kemana? Ga sedikit ko yang sekolah udah tinggi, tapi manner masih jongkok. Belum nambah deretan orang korupsi setelah menjadi pejabat-pejabat terhormat disana padahal mereka dari kalangan 'terpelajar'. Punya ilmu, setinggi apapun gelarnya, dan sejauh apapun sekolah nya, ga lantas merubah manner seseorang. Meanwhile dalam bermasyarakat, manner (aka akhlak) adalah hal yang utama. Hal ini serupa dengan ngapain orang rajin sholat, rajin puasa, rajin ke mesjid tapi masih ghibahin orang, omongannya masih nyakitin orang. Mendingan ibadah standar aja, ga usah fanatik-fanatik amat tapi ber akhlak.


Sehingga dengan pola pikir seperti itu, saya jadi mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang satu. Seiring dengan berjalannya waktu, menambah usia, bertemu beragam orang, ternyata kaget sendiri ketika menemukan ADA LOH  CONTOH YANG PERFECT GITU, balance antar cangkang dan isi. Penampilan rapih, berpendidikan, manner baik, dan patuh sama agama.

Lalu terjadi perdebatan,
“udah, yang penting isi..”
“tapi cangkang juga ga kalah penting”
“iya sih”
*** 

Pada gilirannya banyak hal yang membuat saya sadar, terutama setelah belajar agama lebih dalam, bahwa sebenarnya agama saya itu mengajarkan untuk baik dalam segala hal.

Liat contoh-contoh nya para tokoh muslim terdahulu. (Lain waktu kita bahas ini nanti).

Atau para sahabat, dan utamanya Rosulullah SAW. What a great examples for us.
Kalau bisa memperbaiki keduanya, kenapa harus membatasi diri dengan hanya memperbaiki salah satu?

Thats the point.

Terus mulai mikir, masa idup mau gini-gini terus,

Lalu mulailah,
Saya yang awalnya takut-takut mau panjangin jilbab, perlahan-lahan mulai coba.
Saya yang awalnya takut-takut mau dibilang sok cantik karna perawatan, mulai lah merawat diri (minimal ga kucel, penampilan sesekali rapih, dan ga cuek-cuek amat walaupun skg masih minimalis jg sih haha),
Saya yang awalnya takut-takut untuk memperbaiki cangkang, perlahan mulai memoles tanpa berusaha melupakan esensi dari isi cangkang itu sendiri. Coba-coba lagi nambah ilmu, perbaikin akhlak.
Walaupun asli, ternyata dari kesemua itu yang paling susah yaaa memperbaiki akhlak yang merupakan hasil refleksi dari tauhid. Susah. Godaannya adaaaaa aja.

Pada akhirnya, judging saya terhadap (misal) wanita-wanita jilbab lebar perlahan berubah; misal manner nya belum sesuai, bisa jadi baru aja kemarin mereka memperbaiki diri dengan melebarkan jilbabnya, bisa jadi baru aja kemarin hidayah mengetuk hatinya (misal mualaf atau baru banget hijrah) sehingga ga bisa total berubah 100% begitu saja, atau bisa jadi mereka pun sedang dalam proses hijrah yang menurut mereka hal itu sangatlah berat dari kacamata mereka sementara kita ga tau. Bisa jadi. Dan banyak bisa jadi-bisa jadi yang lainnya.

Hal ini kalau dihayati, ya jadi ajaran agama juga. Untuk tidak berprasangka. Untuk selalu mengajarkan; milikilah seribu alasan berprasangka baik terhadap saudara mu. Untuk tidak mencela dosa saudaranya. Singkatnya, untuk ga judging, untuk ga nyinyir, dan untuk ga demanding terhadap orang lain. Tapi disuruh ngaca dulu ama diri sendiri. Disuruh sibuk ama apa yang udah dilakuin ama diri. Karna mau temen deket, atau keluarga sekalipun gakan bisa menggantikan hisab kita nanti di yaumil akhir.

Pun untuk tidak menyinyiri mereka yang belum berhijab, atau  yang ngajinya masih terbata, atau yang pemahaman agamanya masih sedikit. Ga lantas jadi halal buat nyinyir sih. Ya itu tadi, Islam sendiri sangat menekankan untuk tetap berprasangka baik. Boleh jadi, nanti besok dia dapat hidayah dan lebih baik dari kamu. Boleh jadi, besok mereka diberikan kemudahan dalam menghapal ayat-ayat Quran nya, sementara kita dimentokkan bahkan dilupakan amat ayat yang udah dihapal :( 
Boleh jadi, besok dia meninggal dalam keadaan husnul khotimah karna hatinya bersih sementara kamu meninggal dalam keadaan memiliki prasangka dan titik-titik hitam di hati tanpa sadar menggerogoti. 
Bukankah dalam hadist dibilang suatu amal itu dilihat dari akhirnya? (baca sini)
Selalu ada waktu untuk berubah. Mereka yang bisa berubah lebih baik, atau kamu yang bisa berubah lebih buruk (Naudzubillahi min dzalik).  


Makanya semakin kesini semakin paham, pilihan untuk memperbaiki isi maupun cangkang sama-sama rasional nya. Yang ga rasional adalah saat berenti memperbaiki diri. Terutama memperbaiki hati yang gampang banget dibolak-balik di dunia yang terlalu dinamis ini.

Wallahualam.

Semoga kita bisa selalu lebih baik dari hari kemarin sekecil apapun perubahannya dan bisa istiqomah berada di jalan kebaikan Nya, serta selalu berada dalam bimbingan dan lindunganNya. Aamiin.


*Memasuki malam 2 Muharram 1440 H.
**Ga perlu nanya resolusi lah yaa :p





 
Video singkat tentang "Mengapa harus hijrah" oleh Ust Oemar Mita. 
Fyi, gabisa ngelink video di IG, but this one was too good, jadi video screenshot aja yes.